|
Kecanduan Internet |
PARA psikiater di Singapura mendorong pihak
berwenang di sektor kesehatan untuk secara resmi mengakui kecanduan
Internet dan alat digital lainnya sebagai suatu kelainan, bergabung
bersama negara-negara lainnya di dunia yang menunjukkan kekhawatiran
dengan masalah yang semakin meningkat ini.
Singapura dan Hong Kong ada di daftar teratas di Asia Pasifik sebagai
negara yang termasuk memiliki tingkat penetrasi ponsel pintar tertinggi
di dunia, menurut laporan 2013 dari perusahaan Nielsen yang mencermati
media.
Sekitar 87 persen populasi Singapura yang mencapai 5,4 juta orang
memiliki ponsel pintar, atau yang memiliki kamera dan kemampuan
mengakses Internet.
Di Amerika Serikat, ada kekhawatiran yang sama mengenai dampak ponsel
pintar bagi masyarakat, dengan tingkat penetrasi 65 persen yang mungkin
tidak akan masuk daftar lima besar di Asia Pasifik. Demikian dilaporkan
VOA, Senin (16/6/2014).
Warga-warga Singapura rata-rata menghabiskan 38 menit per sesi di
Facebook, hampir dua kali lebih lama dari orang Amerika, menurut studi
dari Experian, perusahaan layanan informasi global.
Adrian Wang, seorang psikiater dari rumah sakit kelas atas Gleneagles
Medical Centre, mengatakan, kecanduan digital seharusnya
diklasifikasikan sebagai kelainan jiwa.
“Pasien-pasien datang dengan masalah terkait stres dan kegelisahan,
namun mekanisme penyembuhan mereka adalah dengan mengakses Internet,
membuka media sosial,” ujar Wang.
Ia mengatakan pernah merawat seorang mahasiswa berusia 18 tahun dengan gejala-gejala yang ekstrem.
“Ketika saya melihatnya, ia tidak bercukur, rambutnya panjang,
tubuhnya kurus dan ia belum mandi selama beberapa hari. Ia terlihat
seperti pria tunawisma,” ujar Wang.
Pemuda itu bertengkar dengan ayahnya setelah sang ayah mencoba
mengambil komputer laptopnya. Setelah sang ayah juga memutuskan akses
Internet di rumah, anak muda itu berkeliaran di rumah-rumah tetangga
untuk mendapat koneksi nirlaba.
Ia akhirnya diopname, diberi obat anti-depresan dan menerima “banyak” konseling, ujar Wang.
“Kita harus memutus siklus itu. Ia akhirnya membaik, keluar dari
rumah sakit. Beberapa kali bertemu dengannya, ia baik-baik saja,” ujar
Wang.
Kecanduan Media Sosial
Tan Hwee Sim, seorang psikiater konsultan di klinik The Resilienz
Mind di Singapura, mengatakan, gejala-gejala yang diperlihatkan para
pasien dewasa muda yang dirawatnya telah berubah seiring waktu.
Obsesi dengan permainan daring (online gaming) merupakan hal utama di
masa lalu, namun sekarang ini tren yang sedang naik adalah kecanduan
media sosial dan pengunduhan video.
Terkait gejala fisik, semakin banyak yang melaporkan sakit leher atau
“text neck/iNeck pain” karena sering menundukkan kepala untuk melihat
ponsel pintarnya di mana pun, ujar Tan Kian Hian, konsultan departemen
anestesiologi di Rumah Sakit Umum Singapura.
Masalah ini bukan hanya ada di Singapura, karena sejumlah negara
telah membangun pusat perawatan untuk pecandu-pecandu Internet usia
muda, terutama di Asia. Korea Selatan, China, dan Taiwan telah bergerak
untuk mengatasi isu tersebut.
Di Korea Selatan, survei yang dilakukan pemerintah pada 2013 memperkirakan hampir 20 persen remaja kecanduan ponsel pintar.
China sudah memiliki sekitar 300 pusat adiksi Internet, menurut
laporan laman stasiun televisi negara CCTV pada Februari. Media tersebut
juga mengutip survei yang menunjukkan ada lebih 24 juta anak muda China
kecanduan Internet.
Sakaw dan Kegelisahan
Di Singapura, ada dua pusat konseling — National Addictions
Management Services dan Touch Community Services – yang memiliki program
untuk kecanduan digital.
Trisha Lin, seorang asisten profesor bidang komunikasi di Nanyang
Technological University, mendefinisikan kecanduan digital dengan
sejumlah gejala: ketidakmampuan untuk mengontrol keinginan, kegelisahaan
jika terpisah dengan ponsel pintar, menurunnya produktivitas dalam
belajar atau bekerja, dan kebutuhan untuk terus mengecek telepon.
Lin memperingatkan para orangtua agar seharusnya tidak memberikan
anak-anak mereka ponsel pintar atau komputer tablet untuk membuat mereka
diam.
“Seperti pengasuh bayi di masa lalu menggunakan TV, namun sekarang
ini lebih buruk karena layarnya bisa dibawa ke mana-mana,” ujarnya,
mengutip kasus seorang siswi SMA di Taiwan yang hanya bisa tidur jika
memeluk ponsel pintarnya untuk berjaga-jaga jika ada yang menelponnya.
Sekelompok mahasiswa/i S-1 dari Nanyang Technological University di
Singapura akhir tahun lalu meluncurkan kampanye mendorong publik
meletakkan ponsel pintar dengan posisi layar di bawah ketika sedang
bersama orang-orang yang dicintai.
Kampanye itu mendapat sambutan baik dari para mahasiswa/i, dan ada rencana untuk mengembangkannya di sekolah-sekolah.
Kecanduan begitu merasuk di Singapura, sampai sebuah program
pendidikan “kesehatan dunia maya” untuk anak-anak pra-sekolah dan
orangtua mereka akan diluncurkan di paruh kedua 2014.
Chong Ee Jay, seorang asisten manajer di Touch Community Services,
yang meluncurkan inisiatif itu, mengatakan: Kami ingin memberi
peringatan pada orangtua agar tidak memberikan alat-alat ini begitu dini
dan belajar untuk menyimpannya.”*